HAK ATAS PELAYANAN DAN PERLINDUNGAN KESEHATAN IBU
DAN ANAK
(Implementasi Kebijakan di Kabupaten Banyumas)
Tedi Sudrajat dan Agus Mardianto
Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto
ISI
KEBIJAKAN (CONTENT OF POLICY)
Indikator
yang digunakan dalam menentukan keberhasilan implementasi kebijakan mencakup:
(1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam
isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target groups; (3) sejauh
mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4) apakah sebuah program
sudah sudah tepat, apakah letak program sudah tepat; (5) apakah sebuah
kebijakan telah menyebit implementornya secara rinci; (6) apakah sebuah program
didukung oleh sumberdaya yang memadai.
Dapat
ditarik makna bahwa: pertama, isi kebijakan telah mencantumkan kepenttingan
kelompok sasaran, yaitu upaya untuk mrningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak
sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, Permenkes RI No.
741/Menkes/PER/VII/2008, Kepmenkes Nomor 004/MENKES/SK/ X/2003, dan Kepmenkes
Nomor 1419/MENKES/SK/X/2003; kedua, isi kebijakan sebagian telah
mengidentifikasi jenis manfaat yang diterima oleh ibu dan anak meliputi program
penurunan angka kematian ibu dan anak, program peningkatan pelayanan kesehatan
ibu dan anak, peningkatan pemberian ASI eksklusif dan perbaikan gizi.
LINGKUNGAN
IMPLEMENTASI (CONTEXT OF IMPLEMENTATION)
Jenis
program yang dilakukan cenderung bermanfaat bagi target sasaran, tetapi letak
program tersebut masih terkonsentrasi di daerah tertentu dan belum mengakomodir
kepentingan masyarakat yang berada di pinggiran dan secara geografis jauh dari
Pemerintahan (ex. Gumelar dan Lumbir). Pada perspektif proses, program
pemerintah dapat dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk
dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara
lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program.
Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil manakala
program membawa dampak dan dirasionalisasikan dengan lingkungan, kebutuhan dan
kemampuan dari pelaksana kebijakan.
BENTUK
PERLINDUNGAN HUKUM ATAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
DI KABUPATEN BANYUMAS
Setiap
aktivitas tidak bisa lepas dari hak dan kewajiban yang melekat dalam setiap
ketentuannya. Seperti halnya, penyelenggaraan kesehatan ibu dan anak, jika
dalam praktiknya terdapat permasalahan maka hal tersebut akan menimbulkan
perselisihan/konflik dan berimplikasi terhadap penerapan sanksi terhadap
pelanggarnya, yang dapat dikaji dari berbagai perspektif, baik dari perspektif
hukum pidana, hukum perdata, etika profesi, perlindungan konsumen maupun hukum
kesehatan. Berikut penjelasan masing-masing perspektif tersebut.
Perspektif
Hukum Pidana
Pasal-pasal
dalam hukum pidana yang sangat relevan dalam tanggung jawab pidana seorang
tenaga medis yang terkait dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak tercantum
dalam Pasal 359 KUHP yaitu karena kesalahannya menyebabkan orang mati; Pasal
360 KUHP, yaitu karena kesalahannya menyebabkan luka berat; Pasal 361 KUHP
yaitu karena kesalahannya dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaannya
hingga menyebabkan mati atau luka berat maka akan di hukum lebih berat; Pasal
322 KUHP tentang Pelanggaran Rahasia Dokter; dan Pasal 346, 347, 348 KUHP
tentang Aborsi.
Perspektif
Hukum Perdata
Tenaga
medis dianggap bertanggung jawab jika melakukan hal-hal berupa, pertama,
wanprestasi (Pasal 1239 KUHPerdata), dalam hal ini pertanggungjawaban yang
harus dilakukan oleh seorang tenaga medis adalah memberikan ganti rugi atas
kerugian yang diderita oleh pasien; kedua, perbuatan melawan hukum (Pasal 1365
KUHPerdata), dalam hal ini dimaksudkan bahwa perbuatan melawan hukum seorang
tenaga medis adalah bertentangan atau tidak sesuai dengan standar profesi, dan
pertanggungjawaban dokter ditentukan dari adanya perbuatan melawan hukum
tersebut dengan kompensasi ganti kerugian kepada pasien; ketiga, kelalaian
sehingga mengakibatkan kerugian (Pasal 1366 KUHPerdata), dalam hal ini tenaga
medis dianggap melakukan kelalaian atau kurang hati -hati yang tidak sesuai
dengan standar yang ditentukan oleh undang-undang, dan tenaga medis tersebut
harus memberikan ganti kerugian kepada pasien apabila pasien mengalami kerugian
akibat kelalaian tenaga medis tersebut; dan keempat, melalaikan pekerjaan
sebagai penanggung jawab (Pasal 1367 ayat 3 KUHPerdata), dalam hal ini dokter
harus bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya baik oleh
asisten yang bukan dokter, maupun dokter asisten atau perawat dan lain
sebagainya berdasarkan tindakan medik tertentu, pertanggungjawaban apabila
terjadi kerugian atas diri pasien dengan memberikan ganti rugi yang diberikan
oleh dokter atau bawahannya.
Perspektif
Etika Profesi
Apabila
terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh seorang tenaga medis, maka
akan diselesaikan melalui lembaga Majelis Kode etik yang akan memutus adanya
pelanggaran etik atau tidak dari seorang tenaga medis dengan penggolongan kasus
menurut pelanggaran ringan, sedang dan berat.
Perspektif
Perlindungan Konsumen
Tujuan
diberlakukannya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah untuk
mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha
sehingga tercipta kepastian hukum bagi keduanya. Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999
menyebutkan bahwa hubungan tenaga medis dan pasien dikategorikan sebagai
hubungan produsen dan konsumen. Pertanggungjawaban tenaga medis dalam UU No. 8
Tahun 1999 berupa kewajiban tenaga medis untuk memberikan ganti rugi berupa
pengembalian uang atau barang yang setara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan
yang berlaku apabila pasien mengalami kerugian atas tinda kan medis yang
dilakukan tenaga medis.
Perspektif
Hukum Kesehatan
Pasal 58 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 menentukan
bahwa:
Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
Pasal 190 juga menentukan bahwa:
·
Pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan
yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
·
Dalam
hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan dimaksud pada
ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan dan/atau
tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Berdasarkan
hal tersebut terdapat doktrin yang berlaku dalam Hukum Kesehatan yaitu “Res Ipsa Liquitur” dimana syarat
berlakunya doktrin tersebut apabila kejadian yang dialami oleh pasien dan
tenaga medis tersebut tidak biasanya terjadi, kerugian tersebut tidak
ditimbulkan oleh pihak ketiga, dan bukan kesalahan korban. Konsekuensi dari
doktrin ini dalam Hukum Kesehatan yaitu ada pembebanan kepada tenaga medis
mengenai proses pembuktian bagaimana terjadinya kelalaian tersebut sesuai standar
yang digunakan didalam melakukan tindakan medis terhadap pasien. Berkaitan
dengan hal tersebut, doktrin ini memiliki beban pertanggungjawaban mutlak
terhadap tenaga medis yang dinyatakan bersalah.
SIMPULAN
Pada
dasarnya, program pelayanan kesehatan di Kabupaten Banyumas telah ditetapkan
menjadi program prioritas daerah, namun dalam implementasinya masih belum
memenuhi sasaran. Faktor yang mempengaruhi berupa kurangnya sarana prasarana
penunjang kesehatan, cara pandang masyarakat terhadap pelayanan kesehatan,
kurangnya koordinasi antar sektor kesehatan dan kendala geografis. Karena itu,
perencana kebijakan di daerah harus dapat mempertimbangkan aspek kebutuhan
sarana-prasarana riil dari masyarakat.
SARAN
Untuk
dapat mengatur tata cara dan standar penerapan kebijakan di bidang kesehatan,
khususnya di Kabupaten Banyumas maka seharusnya dibentuk Peraturan Daerah atau
Peraturan Bupati yang mengatur pelaksanaan kebijakan peningkatan kesehatan ibu
dan anak di Kabupaten Banyumas. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan yang
diterapkan memiliki payung hukum sehingga tercipta fungsi pelayanan kesehatan
yang terarah dan mendasarkan pada kepentingan serta kebutuhan masyarakat di
Banyumas.
Nama kelompok:
1. Dewi Kartika
2. Dina Novayanti
3. Mita Anggraini Rahayu
4. Niken Mia
DAFTAR PUSTAKA
Ariningrum,
Ratih, NK Aryastatmi. “Studi Kualitatif Penyelenggaraan
Pelayanan Kesehatan Ibu dan
Bayi Setelah Penerapan
KW-SPM Di Kabupaten Badung, Tanah Datar, Dan Kota Kupang”.
Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan Pusat Humaniora Kebi jakan Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat,
Vol. 11 No. 1 Januari 2008;
Dewi,
Alexandra Indriyanti. 2008. Etika dan
Hukum Kesehatan. Yogyakarta:Pustaka Book Publisher;
Irianto,
Boedi Santoso. “Suatu Tinjauan Malpraktik Dalam Hukum Kesehatan”. Jurnal
Themis, Vol 2
No. 1 Oktober 2007
Fakultas Hukum Universitas Pancasila Jakarta;
Rozah,
Umi. “Pertanggungjawaban Pidana Dokter Dalam Malpraktik Medis”. Jurnal Masalah-
Masalah Hukum, Vol 33 No.
3 2004. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang;
Soedirham,
Oedojo. “Promosi Kesehatan Sebagai Kebijakan Sosial”. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan Pusat Humaniora
Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Vol 10
No. Juli 2007
Subarsono,
AG. 2006. Analisis Kebijakan Publik (Konsep.
Teori. dan Aplikasi), Yogyakarta: Pustaka
Pelajar;
Triyanto,
Bambang Wicaksono. “Citizen Charter dan Reformasi Birokrasi”. Jurnal Kebijakan
dan
Administrasi Publik, Vol
8 No. 2 November 2004. Magister Administrasi Publik Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta;
Tumanggor,
Rusmin. “Masalah-Masalah Sosial Budaya Dalam Pembangunan Kesehatan di
Indonesia”. Jurnal
Masyarakat dan Budaya Vol 12 No. 2 2010. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Jakarta;
Wahyudi,
Setya. “Tanggung Jawab Rumah Sakit Terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga
Kesehatan dan
Implikasinya”. Jurnal Dinamika Hukum Vol 11 No. 3 September 2011.
Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto;
Wulansari,
Suci; Sugeng Rahanto dan Umi Muzakiroh. “Studi Pelaksanaan Kerja Sama Lintas
Sektor
dalam Peningkatan
Kesehatan Ibu dan Anak”, Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Vol 18 No. 2 2008. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jakarta.